ASBABUN
NUZUL
A.Pengertian Asbabun Nuzul
Ungkapan
Asbab Al-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “Asbab”. Secara entimologi,
Asbab Al-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya suatu
peristiwa. Mestipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya suatu
dapat disebut Asbaba Al-Nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan Asbab Al-Nuzul
khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelaangi Al-Qur’an
seperti halnya Asbab Al-Wurud secara khusus digunakan bagi sebab-sebab
terjadinya Hadits.
Pengertian
secara terminologi ada beberapa ulama yang merumuskan, Shubhi Al-Shalih
memberikan defenisi Asbab Al-Nuzul. Berdasarkan pengertian yang diungkapkan
beberapa ulama diatas dapat disimpulkan bahwa Asbab Al-Nuzul adalah suatu yang
menyebabkan turunnya satu ayat atau beberapa ayat Al-Qur’an yang berkenaan
dengan kejadian, menjawab pertanyaan dan menerangkan hokum pada waktu
terjadinya peristiwa. Melihat kepada defenisi yang diungkapkan para ulama Asbab
Al-Nuzul dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk sebab turunnya suatu ayat yaitu
karena peristiwa dan pertayaan kepada rasul.
B.Kualitas Riwayat Asbabun Al-Nuzul
Pedoman
dasar para ulama dalam mengetahui Asbabun Nuzul ialah riwayat shahih yang
berasal dari Rasulullah SAW dan sahabat. Pemberitahuan para sahabat tentang hal
ini akan dikatakan berhukum Marfu’ (disandarkan pada rasul) dan akan menjadi
Ra’y (pendapat) bila hal ini tidak langsung dari rasul. Itu sebabnya untuk
mengetahui sebab turun ayat selain berdasarkan periwayatan, juga harus benar
(Naql Ash-Shahih) dari orang-orang yang melihat dan mendegar langsung turunnya
Al-Qur’an. Dengan demikian, seperti halnya periwayatan pada umumnya, diperlukan
kehati-hatian dalam menerima riwayat yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul. Dalam
kitab Asbabun Nuzul, Al-Wahidi menyatakan “pembicaraan Asbab Al-Nuzul harus
berdasarkan riwayat dan mendegarnya dari mereka yang secara langsung
menyaksikan peristiwa Nuzul dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.
Dapat
diketahui bahwa para ulama salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima
berbagai riwayat yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul. Ketetatnya mereka itu
dititikberatkan pada seleksi pribadi pembawa riwayat (para perawi) sumber
riwayat (isnad), dan redaksi berita (matan). Bukti keketatan itu diperlihatkan
oleh Ibn Sirin ketika menceritakan pengalamannya sendiri: aku pernah bertanya
kepada Ubadah sebuah ayat Al-Qur’an, tetapi menjawab, “Hendaklah engkau
bertaqwa kepada Allah SWT dan berbicaralah dengan benar. Orang-orang yang
mengetahui diturunkannya ayat Al-Qur’an sudah tidak ada lagi”.
Akan
tetapi, perlu dicatat, sipat kekritisnya mereka tidak dikenakan terhadap
Asbabun Nuzul yang diriwayatkan oleh Sahabat Nabi. Mereka berasumsi apa yang
dikatakan sahabat Nabi, yang tidak masuk dalam lapangan penukilan dan
pendegaran, maka dapat dipastikan bahwa ia mendegar Ijtihadnya sendiri. Oleh
sebab itu, Ibn Shahih, Al-Hakim, dan para Ulama Hadits lainnya menetapkan,
“Seorang sahabat Nabi yang mengalami masa turun Wahyu, jika ia meriwayatkan
suatu berita tentang Asbabun Nuzul, riwayatnya ia berstatus Marfu’. Bila
ditemukan riwayat yang berbeda, tentang Asbabun Nuzul suatu ayat, maka dapat
diselesaikan dengan cara.
1. Bila
suatu riwayatnya Shahih, dan yang lain tidak, maka diambil riwayat yang Shahih
dan ditolak yang lainnya. Menurut riwayat Imam Bukhari dan Muslim dan lainnya
dari junnat, bahwa Nabi Muhammad SAW, sehingga tidak bangun satu atau dua
malam, datang seorang perempuan kepada beliau, dan berkata: “Hai Muhammad, saya
tidak melihat Tuhanmu kecuali ia telah meninggalkanmu”, maka turn ayat Al-Dhuha
1-5.
2. Apabila
dua riwayat sama-sama Shahih, tetapi salah satu diantaranya mempunyai penguat
maka diambil yang memiliki penguat, misalnya riwayat Bukhari dari Ibn Mas’ud,
Ibnu Mas’ud berkata: “saya berjalan bersama Nabi di Madinah melewati orang
Yahudi”. Mereka berkata “ceritakan kepada kami tentang ruh, maka turunlah ayat
85 surat Al-Isra’”.
3. Bila
ada dua riwayat sama-sama Shahih, tetapi tidak ada penguat tetapi dapat
dikomromikan, keduanya harus dikompromikan dengan menganggap bahwa kedua
peristiwa tersebut menjadi penyebab turunnya ayat, karena waktu kejadian
berdekatan. Misalnya Hilal mengadukan kepada Nabi. Bahwa istrinya berbuat zina,
maka turunlah ayat 6 surat An-Nur.
4. Bila
kedua riwayat sama-sama Shahih, sama-sama tidak punya penguat dan tidak dapat
dikompromikan maka caranya adalah dengan menganggap ayat tersebut berluang
sesuai dengan Asbabun Nuzul yang berbilang.
C.Bentuk-Bentuk Asbabun Nuzul
Melihat
kembali pengertian Asbab Nuzul diatas, penulis mengambil kesimpulan yang
menjadi bentuk-bentuk Asbabun Nuzul itu terkait dengan peristiwa dan pertayaan
yang diajukan kepada Nabi.
Komentar
Posting Komentar