Langsung ke konten utama

AYAT-AYAT AL-MUHKAM DAN MUTASYABIHA



A.    Pengertian
Muhkam berasal dari kata ihkam yang secara bahasa berarti ketelitian, keakuratan, kekukuhan, pencegahan dan keseksamaan.[1] Namun pengertin ini semua pada dasarnya kembali pada makna pencegahan. Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh yang maknanya secara bahasa adalah yang sama, serupa[2], yang biasanya membawa kepada kesamaran di antara dua hal. Kedua kata ini terdapat dalam al-Qr’an. Pertama dalam firman Allah surat Hud ayat 1:
!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»tƒ#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOŠÅ3ym AŽÎ7yz .
  Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,(QS. Hud (11):1)[3]

Kedua, firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 23:
ª!$# tA¨tR z`|¡ômr& Ï]ƒÏptø:$# $Y6»tGÏ. $YgÎ6»t±tFB uÎT$sW¨B Ïèt±ø)s? çm÷ZÏB ߊqè=ã_ tûïÏ%©!$# šcöqt±øƒs öNåk®5u §NèO ßû,Î#s? öNèdߊqè=ã_ öNßgç/qè=è%ur 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# 4 y7Ï9ºsŒ yèd «!$# Ïöku ¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±o 4 `tBur È@Î=ôÒムª!$# $yJsù ¼çms9 ô`ÏB >Š$yd .
Artinya:  Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang  gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun.(QS. Az-Zumar (39) :23)[4]
Ketiga firman Allah balam surat Ali Imran ayat 7:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.(QS.Ali Imran (3): 7)[5]

Kalau dilihat secara sepintas, ketiga ayat ini menimbulkan pemahaman yang saling bertentangan. Karena itu Ibn Habib al-Naisaburi menjelaskan bahwa dalam memahami ayat ini ada tiga pendapat. Pertama, bahwa Al-Qur’an seluruhnya muhkam berdasarkan ayat pertama. Kedua, berpendapat bahwa Al-Qur’an seluruhnya mutasyabihat berdasarkan ayat kedua. Ketiga, berpendapat bahwa Al-Qur’an sebagian ayat Al-Qur’an muhkam dan sebagian mutasyabih berdasarkan ayat yang ketiga, dan inilah pendapat yang lebih sahih. Sedangkan ayat pertama dimaksudkan dengan muhkamnya Al-Qur’an adalah kesempurnaannya dan tidak adanya pertentangan antara ayat-ayatnya. Maksud mutasyabih pada ayat kedua adalah menjelaskan segi kesamaan ayat-ayat Al-Qur’an dalam kebenaran, kebaikan, dan kemukjizatannya. Sehubungan dengan ini Al-Zarqani, Shubhi al-Salih, dan Abd al-Mun’im al-Namir memandang sebenarnya tidak ada pertentangan antara ketiga ayat di atas. Lebih dari itu mereka menjelaskan bahwa yang menjadi perhatian dalam pembahasan ini adalah ayat yang ketiga, bukan ayat pertama dan kedua.
Secara istilah, para ulama berbeda pendapat pula dalam mendefinisikan muhkam dan mutasyabih. Seperti Al-Suyuti telah mengemukakan 18 definisi. Al-Zarqani memberikan 11 definisi pula yang sebagiannya dikutip dari Al-Suyuti. Di antara definisi yang dikemukan oleh al-Zarqani adalah sebagai berikut: [6]
1.    Muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih adalah ayat yang tersembunyi maknanya, tidak diketahui maksudnya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus di awal surat. Pendapat ini dibangsakan Al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2.    Muhkam ialah ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya,[7] seperti terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf yang terputus-putus di awal surat. Pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunnah sebagai pendapat yang terpilih dikalangan mereka.
3.    Mukam adalah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad.
4.    Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kpada isykal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya. Muhkam atas kata benda, musytarak, dan lafal-lafal mubhamah (samar) ini adalah pendapat al-Tibi.
5.    Muhkam adalah ayat yang tunjukannya kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih adalah ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.
6.    Muhkam ialah ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibn Abbas.
7.    Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yag membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasybih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau konteksnya. Lafaz musytarak masuk kepada mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Harmain.
Dari berbagai definisi di atas, dapat diketahui dua hal penting. Pertama, dalam membicarakan muhkam tidak ada kesulitan. Muhkam adalah ayat yang  jelas maknanya. Kedua, mutasyabih adalah sebaliknya. jadi pembicaraan tentang mutasyabih perlu dibahas lebih lanjut. Apa sumber yang melahirkan mutasyabih, dan bagaimana sikap ulama menghadapinya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sumber tasyabuh adalah ketersembunyian maksud Allah dari kalamNya. Secara rinci dapat dikatakan bahwa ketersembunyian itu bisa kembali kepada lafal atau kepada makna atau kepada keduanya sekaligus.[8] Contoh ketersembunyian pada pada lafal adalah: وفا كهة وابا  lafal اب diartikan rumput rumputan berdasarkan pemahaman ayat sebelumnya:
$Yè»tG¨B ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur
Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. (QS, ‘Abasa: (80):32)
Mutasyabih yang timbul dari ketersembunyian makna adalah ayat-ayat mutasyabihat tetang sifat-sifat Tuhan, seperti:
يدالله فوق ايدهم
            Tangan Allah di atas tangan mereka
            Mutasyabih yang timbul dari ketersembunyian pada makna dan lafal sekaligus adalah seperti:
 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur šVqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè?
dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. Al-Baqarah (2): 189)[9]

B.     Sumber Perbedaan Pendapat
Dalam membahas ayat-ayat mutasyabih terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah ayat-ayat mutasyabih ini ditafsirkan, ditakwilkan atau diimani dan diserahkan maksudnya kepada Allah. Maka dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama. [10]
1.       Jumhur ulama ahl al-Sunnah dan sebagian dari ahl ar-Ra’yi (dari kalangan mu’tazilah) memandang tidak perlu ditafsirkan atau ditakwilkan, cukup diimani dan diserahkan maknanya kepada Allah. Argumennya adalah riwayat Abu Qasim dari Ummi Salamah ketika menafsirkan QS. Thaha: 5.
`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$# ÇÎÈ
 (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
Ia berkata cara Allah bersemayam itu tidak dapat dinalar, tetapi bersemayam Allah itu tidak samar lagi dan mengingkarinya kufur. Pandagan yang sama juga dianut oleh Zubaiq bin Abi Abdurrahman, Imam Malik, Muhammad Ibn Hasan, dan Imam Tirmidzi menambahkan bahwa ini pendapat kebanyakan ahli ilmu seperti Sofyan at-Tsauri, Malik Ibn Mubarak, Ibn Uyainah dan Waqi’ bin Jarrah.
2.       Pendapat sebagian ahl al-Sunnah dan  mayoritas ahl ar-Ra’yi berpandangan perlunya takwil terhadap ayat mutsyabih yang relevan dengan keagunga Tuhan .Argumen mereka adalah bahwa tidak boleh ada satu lafaz, kalimat, atau ayat yang tidak bisa diketahui oleh manusia, paling tidak dapat dikatahui oleh orang yang dalam ilmu pengatuannya (rasikh) seperti bersemayam (استوى)  dapat diartikan menguasai, naik atau adil.
3.       Pendapat ulama lain seperi Ibn Daqiq mengambil jalan tengah antara dua pendapat sebelumya. Pendapatnya adalah jika takwilnya relevan dengan bahasa arab, maka tidak boleh ditalak. Sebaliknya jika berlawanan maka harus titangguhkan dan tidak diamalkan serta cukup diimani saja . contohnya (جنب الله) dalam surat al-Zumar ayat 56 diartikan tidak menunaikan kewajiban kepada Allah adalah dekat dengan percakapan bahasa arab.
Ayat-ayat mutasyabih dapat dilihat sebagai ayat metaforis atau simbolik Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat berbagai makna. Jadi ayat-ayat metaforis ini mengandung kebenaran Al-Qur’an yang bersifat kontinu dan komulatif-sumatif. Kebenaran kontinum dan komulatif artinya bahwa makna kebenaran tidak berhenti dan final dalam suatu kurun waktu dan tempat,tetapi menelusuri semuanya sepanjang sejarah. Sedangkan kebenaran yang paling sempurna hanyalah milik Allah semata.
Untuk ayat-ayat metaforis itu,bukan hanya perlu penjelasan dan penafsiran, tetapi juga memerlukan takwil dengan berbagai variasinya yang melibatkan ketajaman dan intelektual manusia. Takwil dalam konteks ini merupakan alat yang dapat dipakai untuk membumikan Al-Qur’an, agar Al-Qur’an dapat dipahami dalam perkembangan mutaakhir,  baik dalam kerangka social dan cultural, maupun dalam rangka kemajuan ilmu pengetahuan dan teknelogi.[11]
C.     Perbedaan Penafsiran Ayat
Telah dikemukakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu berbagai sebab dan bentuknya. Dalam bagian ini bahasan  khusus tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menyangkut sifat-sifat Tuhan, yang dalam istilah al-Suyuthi ayat al-Sifat, dan dalam istilah Shubi al-Shalih mutasyabih al-Sifat ayat yang termasuk dalam kategori ini sangat banyak di antaranya:
`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$#
Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy

uä!%y`ur y7/u à7n=yJø9$#ur $yÿ|¹ $yÿ|¹
Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.

uqèdur ãÏd$s)ø9$# s-öqsù ¾ÍnÏŠ$t6Ïã (
Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya
4tAuŽô£ys»tƒ 4n?tã $tB àMÛ§sù Îû É=/Zy_ «!$#
Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah
4s+ö7tƒur çmô_ur y7În/u rèŒ È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
yìoYóÁçGÏ9ur 4n?tã ûÓÍ_øtã
Dan supaya kamu diasuh atas mataku

ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4 
Tangan Allah di atas tangan mereka
3 ãNà2âÉjyÛãƒur ª!$# ¼çm|¡øÿtR 3
Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.

Dalam ayat-ayat terdapat kata-kata “bersemayam”, “datang”, “di atas”, “sisi”, “wajah”, “mata”, “tangan”, dan “diri” yang dibangsakan atau dijadikan sifat bagi Allah. Kata-kata ini menunjukkan keadaan, tempat, dan anggota bagi makhluk yang baharu. Karena dalam ayat-ayat tersebut kata-kata ini dibangsakan kepada Allah yang qadim, maka sulit dipahami maksud yang sebenarnya, karena itu pula ayat-ayat tersebut dinamakan  mutasyabih al-sifat. Selanjutnya dipertanyakan apakah ayat-ayat ini dapat diketahui oleh manusia atau tidak?.
Dalam hal ini Shubi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab: [12]
1.      Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mengimani sifat-sifat mutasyabihat itu dan menyerahkannya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri.
Inilah system penafsiran yang diterapkan oleh mazhab Salaf pada umumnya terdapat ayat-ayat mutasyabihat. Dalam menerapkan ini mempunyai dua argument, yaitu argument naqli dan aqli. Argument aqli adalah bahwa menentukan maksud ayat-ayat mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya dikalangan bangsa Arab. Penentuan seperti ini hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti). Sedangkan sifat-sifat Allah termasuk masalah akidah yang dasarnya tidak cukup dengan argument yang zanni. Lantaran yang qath’I (pasti) tidak diperoleh, maka kita tawaquf (tidak memutuskan) dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah yang maha mengetahui.
Adapun dalam argument naqli, mereka mengemukakan hadits.
عن عا ئشة قالت: تلا رسول الله ص م. هذه الاية ( هوالذ انزل عليك الكاب الى قوله- اولوالالباب) قالت: قال رسول الله ص م.: فاذا رايت الذين يتبعون ماتشابه منه فاولئك الذين سمى الله فاحذرهم.
Al-Qur’an kepadamu…..sampai kepada….orang-orang yang berakal” berkata ia: Rasulullah SAW bersabda: jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan Allah, maka berhati-hatilah Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah Saw membaca ayat: “ialah yang menurunkan terhadap mereka (HR. Bukhari dan Muslim)
من حديث عمر وبن شعيب عن ابيه عن جده عن رسول الله ص م. قال: ان القران لم ينزل ليكذب بعضه بعضا فما عرفتم منه فعملوابه وما تشابه فامنوا به.
Dari Amir ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Rasulull Saw, ia bersabda: sesungguhnya Al-Qur’an tidak diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian yang lainnya; apa yang kamu ketahui daripadanya maka amalkanlah dan apa yang mutasyabih maka hendaklah kamu meyakininya.
2.      Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang layak dengan zat Allah. Karena itu mereka disebut pula muawwilah atau mazhab takwil. Mereka memaknakan istiwa’ dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap ala mini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintah-Nya, Allah berada di atas hambaNya dengan Allah maha tinggi, bukan berada di satu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat, “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan diri dengan siksa. Demikian sitem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama khalaf. Semua lafal yang mengandung makna cinta dan murka dan malu bagi Allah ditakwil dengan makna majaz yang terdekat. Mereka berkata:
كل صفة يستحيل حقيقتها على الله تعالى تفسره بلازمه
setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Alah ditakwilkan dengan kelazimannya”

Mazhab ini juga mempunyai dua argument yaitu aqli dan naqli. Menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tidak bermakna. Selama mungkin menakwilkan kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untu melakukannya. Lebih lanjut mazhab ini mempertanyakan apakah mungkin ada dalam al-Qur’aan sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya?
Secara naqli mereka mengemukakan beberapa atsar sahabat:
عن ابن عبا س فى قوله (وما يعلمون تأويله الا الله والراسخون فى العلم) قال: انا ممن يعلمون تأويله.
              “Dari Ibn Abbas tentang firman Allah: “dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”; berkata Ibn Abbas: “saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya” (Diriwayatkan oleh Ibn Munzir)
عن الضحاك قال: الرا سخون فى العلم يعلمون تأويله لولم يعلموا ناسخه من منسوخه ولا حلا له من حرامه ولا محكمه من متشا بهه.
“Dari al-Dhahhak, berkata ia: “orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwilnya. Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya mereka tidak mengetahui nasikh dari manskhnya, halalnya dari haramnya, dan muhkam dari mutasyabihnya” (Diriwayatkan oleh Abi Hatim)

Pada mulanya pendapat ini tidak dapat diterima oleh para ulama termasuk Ahlus Sunnah, kemudian ternyata sebagian Ahlus Sunnah menganutnya. Ibn Burhan dan Imam Nawawi memilih mazhab takwil ini. Dalam syarah Muslim, Imam Nawawi berkata:
Sesungguhnya pendapat inilah yang paling benar karena sulit diterima akal bahwa Allah menyeru hambaNya dengan sesuatu yang tidak mungkin bagi seorangpun dari makhlukNya dapat mengetahuinya”.

Di samping kedua mazhab ini masih ada pendapat ketiga. Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Suyuthi bahwa Ibn Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibn Daqiq al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu dekat dari bahasa Arab maka tidak di pungkiri kebolehannya, jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskannya) kita meyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari sesuatu yang tidak layak bagiNya.[13]
Secara teoritis perbedaan di atas bisa dikompromikan, dan secara praktis penerapan Mazhab Khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang dan kritis. Sebalikny Mazhab Salaf tetap sesuai bagi masyarakat yang secara intelektual tidak menuntut penakwilan ayat-ayat mutasyabihat. Sejalan dengan ini para ulama menyebutkan bahwa mazhab Salaf lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh kedalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah, dan Mazhab Khalaf Khalaf lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argument aqli.
D.    Jenis-jenis Ayat Mutasyabihat
Menurut Al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi kepada tiga macam: [14]
1.      Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak mampu mengetahuinya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifatNya, pengetahuan tentang kiamat da hal-hal gaib lainnya.  Allah berfirman dalam surat Thaha (20):5:
`»oH÷q§9$# n?tã ĸöyèø9$# 3uqtGó$#
Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy
2.      Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maknanya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul karena ringkasnya, panjangnya, ayat. Contoh firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 3:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
3.      Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu yaitu ulama-ulama yang jernih jiwanya.
Melihat dari pembagian ayat-ayat mutasyabihat di atas, agaknya Az-Zarqani mengelompokkan ayat-ayat tersebut dari segi tingkat kesulitan dalam memahaminya, dalam artian beliau mengelompokkan berdasarkan orang yang akan memahaminya, rasikh tidaknya tingkat ilmu seseorang secara umum, para ulama secara khusus.


[1] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhlor, Kamus kontemporer Arab Indonesia, (Jakarta: Multi Karya Grafika, 1998), h. 45
[2]  Ibid, h. 1607
[3] Departemen Agama Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: PT Syamil Cipta Media, 2002), h. 221  
[4] Ibid, h. 461
[5] Ibid, h. 50
[6] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1996), h. 83-84
[7] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur'an, Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Halim Jaya, 2011), h.305
[8] M. Bakir Hakim, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Al-Huda, 2006),  h. 263
[9]  Departemen Agama, op.cit, h. 29
[10] Dikutip dari situs http:// www.scrab.com/. Selasa, 08 nofember 2011
[11] Ibid
[12] Dikutip dari situs http://www.insankamil.com/. Selasa, 08 nofember 2011
[13]  Hasan Zaini, Ulumul Qur’an, (Batusangkar: STAIN Batusangkar press, 2011), h. 119
[14]  Dikutip dari situs http://www.insancitainstitut.com/. Selasa, 08 nofember 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

teknologi informasi dalam manajemen sdm

TEKNOLOGI INFORMASI DALAM MANAJEMEN SDM D I S U S U N Oleh Kelompok:   NAMA                                                                         NIM                 DERAMA LUBIS                                                      1630200037      ...

NASIKH dan MANSUKH

NASIKH dan MANSUKH OLEH : KELOMPOK X NAMA                                                  NIM DERAMA LUBIS                             16 302 00037 RIYADOH LUBIS                            16 302 00053 Dosen Pembimbing: ZILFARONI, S.Sos.I., M.A FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PADANGSIDIMPUAN 2017 BAB 1 PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan...

jam'ul qur'an pada masa khulafaur rasyidin

                  AL-QUR’AN DI MASA ABU BAKAR DAN ‘UMAR           1.Gerakan Mengumpulkan Shuhuf-shuhuf di Masa Abu Bakar Ash Shiddiq          Telah terang kita ketahui bahwa Al-Qur;an itu diturunkan berangsur-angsur. Setiap turun, Nabi SAW .menyuruh penulis wahyu menulisnya. Kebanyakan sahabat menghafalnya. Akan tetapi walaupu ditulis oleh para penulis wahyu, namun dia tidak terkumpul dalam suatu mushhaf(suatu buku).          Para sahabat dimasa Nabi SAW. Masih hidup pada menulis kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah korma dan pada batu-batu. Mereka menulis Al-Qur’an pada benda-benda tersebut karena kertas pada masa itu belum ada.           Setelah Rasulullah SAW. Wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah, Musailamah Al Kadzazab mengaku di...