NASIKH dan
MANSUKH
OLEH :
KELOMPOK
X
NAMA NIM
DERAMA LUBIS 16 302 00037
RIYADOH LUBIS 16 302 00053
Dosen
Pembimbing:
ZILFARONI,
S.Sos.I., M.A
FAKULTAS DAKWAH
DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
(IAIN) PADANGSIDIMPUAN
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang
merupakan mikjizat bagi nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi
umat manusia untuk mencapai kebagiannya didunia dan diakhirat. Dalam Al-Qur’an
terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an memuat ayat yang mengandung
hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, tentang
cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat
tentang ibadah, muamalah dan lain-lain. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu
menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut quraish shihab para ulama
berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga
timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh.[1]
NASIKH
dan MANSUKH
A.Pengertian
Nasikh dan Mansukh
1. Pengertian Nasikh
Nasakh
berasal dari bahasa arab, al-nasakh, yang terambil dari kata
nasakha-yansakhu-naskhan. Menurut Al-Hafidi Al-Suyuthi merumuskan pengertian
nasakh dari segi bahasa dalam empat pengertian :
1. Al-Izalah
yang artinya “menghilangkan”. Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung
pengertian tersebut terdapat dalam surat (al-Haj :52)
!$tBur $uZù=yör& `ÏB y7Î=ö6s% `ÏB 5Aqß§ wur @cÓÉ<tR HwÎ) #sÎ) #Ó©_yJs? s+ø9r& ß`»sÜø¤±9$# þÎû ¾ÏmÏG¨ÏZøBé& ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ã ß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»t#uä 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ3ym ÇÎËÈ
52.Artinya: dan Kami tidak mengutus sebelum
kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia
mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap
keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan
Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,
2. Al-Naql
yang berarti memindahkan. Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung
pengertian tersebut terdapat dalam surat (al-jatsiyah:29)
#x»yd $oYç6»tFÏ. ß,ÏÜZt Nä3øn=tæ Èd,ysø9$$Î/ 4 $¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇËÒÈ
29. Artinya: (Allah berfirman):
"Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar.
Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan".[2]
3. Al-Tabdil
yang berarti menggantikan. Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung
pengertian tersebut terdapat dalam surat (Al-Nahl:101)
#sÎ)ur !$oYø9£t/ Zpt#uä c%x6¨B 7pt#uä ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ã (#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤tIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçsYø.r& w tbqßJn=ôèt ÇÊÉÊÈ
101. Artinya: dan apabila Kami letakkan
suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih
mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu
adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada
mengetahui.[3]
4. Al-Tahwil
yang berarti mengalihkan. Seperti pengalihan bagian harta warisan dalam ilmu
faraid, misalnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada orang lain.
Menurut Muhammad bin ‘Abd Al-‘Azhim Al-Zarqani
merumuskan pengertian nasakh dari segi bahasa dalam dua pengertian :
a. Izalah
Al-syae wa I’damuh artinya menghilangkan sesuatu dan membuangnya.
b. Naql
Al-syae wa tahwiluh ma’a baqa’ih fi nafsih artinya memindahkan sesuatu dan
mengalihkannya, sementara subtansinya yang dipindahkannya tetap ada.
Ada dua defenisi nasakh yang dikemukakan ulama Ushul
Fiqih, defenisi yang pertama adalah
Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum
melalui dalil syar’i yang datang kemudian.
Artinya, bahwa hukum yang dihapuskan itu atas
kehendak allah dan penghapusan ini sesuai dengan habisnya masa berlakunya hukum
itu. Defenisi kedua
Pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu
dari orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian.
Dari uraian diatas dapat diartikan
secara etimologi nasakh mempunyai beberapa pengertian yaitu antara lain
penghilang (izalah), pengganti (Tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan
(naql). Sedangkan mansukh sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan
dipindahkan[4]
Kemudian para ulama sepakat tentang
ditemukannya nuansa ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat
Al-Qur’an. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas dinilai mengandung
kontadiksi, mereka berusaha memadukannya. Pemandu tersebut oleh satu pihak
ditempuh tanpa menyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus atau tak
berlaku lagi, dan ada pula yang menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah
membatalkan kandungan ayat sebelumnya disebabkan perubahan kondisi social.[5]
Ditinjau dari segi terminology para
ulama mendifinisikan nasikh, kendatipun dengan redaksi yang sedikit berbeda,
tetapi dalam pengertian sama dengan raf’u al hukm asy-sya’I bi al-khitab
asy-syar’i (menghapuskan hukum syara dengan khitab syara pula) raf’u al hukm
asy-sya’I bi al dalil asy-syar’I (menghapuskan hukum syara dengan dalil syara
yang lain) terminology “menghapuskan” dalam defenisi di atas adalah terputusnya
hubungan hukum yang dihapus dari seseorang mukallaf dan bukuan terhapusnya
substansi hukum itu sendiri.
Menurut Abdul Wahab Khalaf nasikh
adalah membatalkan keputusan syara’dengan dalil syara’ yang lainnya. Pembatasan
tersebut ada yang secara umum dan ada juga yang secara sebagian. Dengan
demikian yang datang kemudian membatalkan dalil yang telah berlaku sebelumnya.[6]
Sementara itu Quraish Shihab
menyatakan bahwa ulama mutaqqaddimin dan muta’akhirin tidak sepakat dalam
memberikan pengertian nasikh secara terminology. Hal ini terlihat dari
kontroversi yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam Al-Qur’an.
Ulama-ulama mutaqaddim bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup :
1) Pembatalan
hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian
2) Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian
3) Penjelasan
susulan terhadap hukum yang bersifat ambigus
4) Penetapan
syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau
menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.[7]
Menurut ulama mutaqaddim, nasikh
adalah mengangkat hukum syar’I dengan dalil hukum syara’ yang lain. Misalnya,
dikeluarkannya hukum syar’I dengan berdasarkan kitab syara’ dari seorang karena
ia mati. Pengertian menurut ulama muta’akhirin diantaranya ialah sebagaimana
yang diungkapkan oleh quraish shihab nasikh terbatas pada ketentuan hukum yang
datang kemudian, guna membatalkan, mencabut, atau menyatakan berakhirnya
pemberlakuan hukum terdahulu, hingga ketentuan hukum yang ada yang ditetapkan
terakhir.[8]
2.
Pengertian Mansukh
Mansukh menurut bahasa berarti
sesuatu yang dihapus, dipindahkan, ataupun disalin, dinukil. Sedangkan menurut
istilah para ulama, mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’
yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari
dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh adalah
berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti yang baru,
karena adanya situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan pengganti hukum tadi.
Dari pengertian diatas dapat
dipahami bahwa nasikh dan mansukh menurut ulama mutaqaddim memberikan batasan
pengertian bahwa nasikh adalah sebagai dalil syar’I yang ditetapkan kemudian.
Artinya ketentuan hukum yang telah berlaku sebelumnya dinyatakan telah berakhir
masa berlakunya, dan diganti dengan ketentuan hukum yang lain.[9]
Dari beberapa defenisi yang telah
disebutkan diatas dapat dipahami, bahwa nasakh adalah penghapusan hukum yang
terdahulu oleh hukum yang datang kemudian. Dengan kata lain hukum yang datang
belakangan telah menghapuskan hukum yang datang dahulu, sehingga hukum yang
datang kemudian diamalkan.
C. Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat
Nasakh
Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat
nasakh dan mansukh, perlu diketahui rukun-rukun dan syarat-syarat nasakh.
Rukun-rukun nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.
Adanya mansukh,
(ayat-ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah
berupa hukum syara’ yang bersifat Amali, tidak terikat atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila
terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu
tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu tidak dapat dinamakan dengan
nasakh. Disamping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak bersifat “ajeg” secara
nashshi, dan ayat-ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat
yang nasikh (menghapus).
2.
Adanya mansukh bih
(ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat, datangnya dari syar’i
(Allah) atau Rasulullah s.a.w sendiri yang bertugas menyampaikan wahyu dari
Allah. Sebab penghapusan suatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan
ijma (konsensus) ataupun qiyas (analogi).
3.
Adanya nasikh (yang
berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang ketentuan hukum yang dihapus itu
berupa Al-Qur’an dan kadang-kadang pula berupa sunnah.
4.
Adanya mansukh ‘anhu
(arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah Aqil-baligh atau
mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus dan atau yang
dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.[10]
Sedang Abd. Azhim al Zarqani
mengemukakan,bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :[11]
1.
Adanya dua ayat hukum
yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak dapat
diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
2.
Ketentuan hukum syara’
yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan daripada ketetapan hukum syara’
yang diangkat atau dihapus.
3.
Harus diketahui secara
menyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu
diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya sebagai
nasikh.
D.
Pembagian Nasakh
Umumnya
para ulama membagi nasakh menjadi empat macam :[12]
a.
Nasakh Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an
Bagian
ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang
mengatakan adanya nasakh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh
hari.
b.
Nasakh Al-Qur’an dengan
Sunnah
c.
Nasakh Qur;an dengan
hadits ahad
Jumhur
ulama berpendapat, Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Qur’an
adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni, bersifat
dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang maklum (jelas
diketahui) dengan yang madznun (diduga).
d.
Nasakh Qur’an dengan
hadits mutawatir.
Naskh
demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad dalam
satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
3. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan
hawa nafsunya.
4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).
e. Nasakh
sunnah dengan Al-Qur’an
ini
dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah menghadap ke Baitul Maqdis yang
ditetapkan dengan sunnah dan didalam Qur’an tidak terdapat dalil yang
menunjukkannya. Tetapi naskh versi inipun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu
riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh
Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah.
Hal ini karena antara kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak
bertentangan.
e.
Nasakh sunnah dengan
sunnah
Dalam
kategori ini terdapat empat bentuk:
1).
Nasakh mutawatir dengan mutawatir,
2).
Nasakh ahad dengan ahad
3).
Nasakh ahad dengan mutawatir
4).
Nask mutawatir dengan ahad
Tiga
bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat
seperti halnya nasakh Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh
jumhur.
Adapun
menasakh ijma dengan ijma dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya,
maka pendapat yang shahih tidak membolehkannya.
3.
Peranan Nasikh Mansukh
dalam memahami/menafsirkan Al-Qur’an
Setelah
kita mengetahui pengertian dari nasikh mansukh, maka dapat kita ketahui
bahwasanya nasikh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang
diungkapkan dengan tegas dan jelas, maupun yang diungakapkan dengan kalimat
berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal
tersebut tidak berhubungan dengan persoalan aqidah, berfokus kepada zat Allah
SWT, sifat-sifatnya, rasulnya, kitab-kitabnya, dan hari kemudian. Hal ini
karena semua syariat ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.
Kemudian
syarat-syarat terjadinya nasakh adalah sebagai berikut:
a.
Yang dinasakh itu hukum
syar’i
b.
Pembatalan itu dari
khithab (tuntunan) syara’
c.
Pembatalan hukum itu
tidak disebabkan berakhirnya waktu berlakunya hukum tersebut sebagaimana yang
ditnjukkan khitab itu sendiri,[13]
Seperti
firman Allah:
Artinya:
kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam(al- Baqarah: 187)
Berakhirnya
puasa dengan datangnya malam tidak dinamakan nasakh karena ayat itu sendiri
telah menentukan bahwa puasa tersebut berakhir ketika malam tiba.
d.
Dalil antara keduanya
bertentangan .[14]sehingga
tidak mungkin untuk diambil upaya Jama’ (kompromi). Kalau teryata kaduanya
masih mungkin mengalami proses jama’, maka salah satu diantaranya tidak bisa
manasakh yang lainnya.
Dari
penjelasan diatas jelas sekali para ulama sangat hati-hati di dalam memberikan
defenisi, syarat-syarat, dan ruang lingkup dari pada nasikh dan mansukh itu
sendiri. Karena mereka khawatir akan terjadi banyaknya ayat-ayat yang akan kena
masukh nantinya. Sehingga mereka lebih memfokuskan kepada ayat-ayat yang
bersifat hukum.
E.
Hikmah Nasikh Mansukh dalam Kehidupan dan Pergaulan
Memahami
nasikh dan mansukh penting dalam upaya memahami hukum secara sempurna dan
benar, sehingga secara bijaksana dapat memutuskan hukum yang adil. Ada empat
hikmahnya :
1.
Menjaga kemaslahatan
hamba
2.
Mengembangkan
pensyariatan hukum sampai pada tingkat
kesempurnaan, seiring dengan pengembangan dakwah kondisi manusia itu sendiri
3.
Meguji kualitas
keiginan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus
4.
Merupakan kebaikan dan
kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan
mansukh berarti
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Secara
etimologi nasakh mempunyai beberapa pengertian yaitu antara lain: penghilangan
(izalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql).
Sedangkan mansukh adalah sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan
dipindahkan.
2. Perbedaan
pendapat tentang nasikh dan mansukh dikalangan ulama bersumber dari eksistensi
nasakh dan mansukh itu sendiri didalam al-Qur’an. Menurut mayoritas ulama
mengakui keberadaan nasikh dalam al-qur’an. Sementara ulama yang lain seperti
Abu Muslim al-Ashafani, Ar-Razi, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufik Sidqy,
dan Al- Huduri menolak keberadaan tersebut
3. Hikmah
nasikh mansukh dalam kehidupan: Menjaga kemaslahatan hamba. Mengembangkan
persyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan, seiring dengan
pengembangan dakwah kondisi manusia itu sendiri. Menguji kualitas keimanan
mukallaf dengan keadaan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus. Merupakan
kabaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari
pada ketentuan mansukh berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala.
Sebaliknya, jika ketentuan nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu
berarti kemudahan bagi umat.
[1]M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan
Pustaka,1994), h.143
[2]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Jakarta: PT.
Syamil Cipta Media, 2004), h. 819
[3] Armen Mukhtar, Nasakh
Perkembangan Ilmu Tafsir Al-qur’an, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h.35
[4] Hasan Zaini, Ulum Al-Qur;an, ( Batusangkar: STAIN Batusangkar
Press, 2011) , h, 124
[5]Muhammad Chirzin. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT. Dana
Bhaku Prima Yasa, 1998), hal. 40
[6] Hasan Zaini, Op.Cit, h, 129
[7]Loc. Cit
[8] Hasan Zaini, h. 127
[9] Ibid
[10]Usman. Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2009), hal.262
[11] Muhammad Abd. Azhim al Zarqani. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an,
( Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmi’ah), hal.77
[12]Muhammad Abd. Azhim al-Zarqani. Manahil al-Irfan…, hal. 177. Lihat
juga Usman. OpCit, hal. 263
[13] Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, h,188
[14]Hasan Zaini, Op.Cit, h, 142
assalamu'alaikum,,,,
BalasHapuscoba saudari beri contoh ayat yang NASIKH dan MANSUKH????,,,,,
mksh,,,,
assalamu'alaikum,,
BalasHapusapa latarbelakangnya NASIKH dan MANSUKH ini?????...
mksh,,,
assalamu'alaikum..
BalasHapusAl-Izalah yang artinya “menghilangkan
apa maksud dari kalimat menghilangkan yang di atas???
assalamu alaikum
BalasHapusapa perbedaan dan persamaan antara nasikh dan mansukh
sekian
Assalamu alaikum wr. Wb
BalasHapusSaya ingin bertanya yang pertanyaan saya ialah coba saudari jelaskan bagaimana Sebab penghapusan suatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma (konsensus) ataupun qiyas (analogi).
Sekian terimakasih
Assalamu alaikum wr. Wb
BalasHapusSaya ingin bertanya yang pertanyaan saya ialah coba saudari jelaskan bagaimana Sebab penghapusan suatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma (konsensus) ataupun qiyas (analogi).
Sekian terimakasih
assalamu alaikum saya igin bertanyak coba saudari jelaskan pembagian nasakh itu degan jelas sekian wasalam
BalasHapusasalamu alaikum coba saudari jelaskan bagaimana itu menjaga kemaslahatan hamba itu sekiya wasalam
BalasHapusby:maisaroh nasution
Coba saudari jelaskan hiknah nasikh mansukh
BalasHapusAssalamualaikum Wr.Wb
BalasHapusMansukh artinya menghilangkan, memindahkan
Jadi, bagaimana maksud yang di maksud dengan menghilangkan atau memindahkan tersebut?
Jelaskan!
Sekian terima kasih
Wassalam...
Assalamualaikum Wr.Wb
BalasHapusMansukh artinya menghilangkan, memindahkan
Jadi, bagaimana maksud yang di maksud dengan menghilangkan atau memindahkan tersebut?
Jelaskan!
Sekian terima kasih
Wassalam...
Assalamualaikum ukty Coba saudari jelaskan latar belakang dari nasikh dan mansukh itu terimakasih
BalasHapusCoba saudari jelaskan peranan nasikh dan mansukh dalam memahami dan menafsirkan al quran
BalasHapusBerikan contoh dari judul saudari
BalasHapusTerimakasih
Ass...
BalasHapusCoba saudari jelaskan apa perbedaan nasikh dan mansukh..
Terimakasih...
Nasikh kan yg di hapus atau diganti,nah pertanyaan saya ialah yg dihapus atau diganti itu lapadz nya atau hukumnya.
BalasHapusMohon saudari jelaskan
Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
BalasHapusBagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.jelaskan maksud ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari ?