Langsung ke konten utama

NASIKH dan MANSUKH



NASIKH dan MANSUKH

Description: D:\IMG_20170612_195347.jpg

OLEH :
KELOMPOK X
NAMA                                                 NIM
DERAMA LUBIS                            16 302 00037
RIYADOH LUBIS                           16 302 00053


Dosen Pembimbing:
ZILFARONI, S.Sos.I., M.A

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PADANGSIDIMPUAN
2017





BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mikjizat bagi nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebagiannya didunia dan diakhirat. Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah dan lain-lain. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut quraish shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh.[1]











NASIKH dan MANSUKH
A.Pengertian Nasikh dan Mansukh
1. Pengertian Nasikh
Nasakh berasal dari bahasa arab, al-nasakh, yang terambil dari kata nasakha-yansakhu-naskhan. Menurut Al-Hafidi Al-Suyuthi merumuskan pengertian nasakh dari segi bahasa dalam empat pengertian :
1.      Al-Izalah yang artinya “menghilangkan”. Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung pengertian tersebut terdapat dalam surat (al-Haj :52)
!$tBur $uZù=yör& `ÏB y7Î=ö6s% `ÏB 5Aqß§ Ÿwur @cÓÉ<tR HwÎ) #sŒÎ) #Ó©_yJs? s+ø9r& ß`»sÜø¤±9$# þÎû ¾ÏmÏG¨ÏZøBé& ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ムß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÎËÈ
52.Artinya: dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,

2.      Al-Naql yang berarti memindahkan. Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung pengertian tersebut terdapat dalam surat (al-jatsiyah:29)
#x»yd $oYç6»tFÏ. ß,ÏÜZtƒ Nä3øn=tæ Èd,ysø9$$Î/ 4 $¯RÎ) $¨Zä. ãÅ¡YtGó¡nS $tB óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇËÒÈ
29. Artinya: (Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan".[2]


3.      Al-Tabdil yang berarti menggantikan. Dalam Al-Qur’an, kata al-nasakh yang mengandung pengertian tersebut terdapat dalam surat (Al-Nahl:101)
#sŒÎ)ur !$oYø9£t/ Zptƒ#uä šc%x6¨B 7ptƒ#uä   ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ム(#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤ŽtIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçŽsYø.r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÉÊÈ
101. Artinya: dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.[3]


4.      Al-Tahwil yang berarti mengalihkan. Seperti pengalihan bagian harta warisan dalam ilmu faraid, misalnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada orang lain.
Menurut Muhammad bin ‘Abd Al-‘Azhim Al-Zarqani merumuskan pengertian nasakh dari segi bahasa dalam dua pengertian :
a.       Izalah Al-syae wa I’damuh artinya menghilangkan sesuatu dan membuangnya.
b.      Naql Al-syae wa tahwiluh ma’a baqa’ih fi nafsih artinya memindahkan sesuatu dan mengalihkannya, sementara subtansinya yang dipindahkannya tetap ada.
Ada dua defenisi nasakh yang dikemukakan ulama Ushul Fiqih, defenisi yang pertama adalah
Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syar’i yang datang kemudian.
Artinya, bahwa hukum yang dihapuskan itu atas kehendak allah dan penghapusan ini sesuai dengan habisnya masa berlakunya hukum itu. Defenisi kedua
Pembatalan hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datang kemudian.
Dari uraian diatas dapat diartikan secara etimologi nasakh mempunyai beberapa pengertian yaitu antara lain penghilang (izalah), pengganti (Tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sedangkan mansukh sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan dipindahkan[4]
Kemudian para ulama sepakat tentang ditemukannya nuansa ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas dinilai mengandung kontadiksi, mereka berusaha memadukannya. Pemandu tersebut oleh satu pihak ditempuh tanpa menyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus atau tak berlaku lagi, dan ada pula yang menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya disebabkan perubahan kondisi social.[5]
Ditinjau dari segi terminology para ulama mendifinisikan nasikh, kendatipun dengan redaksi yang sedikit berbeda, tetapi dalam pengertian sama dengan raf’u al hukm asy-sya’I bi al-khitab asy-syar’i (menghapuskan hukum syara dengan khitab syara pula) raf’u al hukm asy-sya’I bi al dalil asy-syar’I (menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang lain) terminology “menghapuskan” dalam defenisi di atas adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seseorang mukallaf dan bukuan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Menurut Abdul Wahab Khalaf nasikh adalah membatalkan keputusan syara’dengan dalil syara’ yang lainnya. Pembatasan tersebut ada yang secara umum dan ada juga yang secara sebagian. Dengan demikian yang datang kemudian membatalkan dalil yang telah berlaku sebelumnya.[6]
Sementara itu Quraish Shihab menyatakan bahwa ulama mutaqqaddimin dan muta’akhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasikh secara terminology. Hal ini terlihat dari kontroversi yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddim bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup :
1)      Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian
2)      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian
3)      Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigus
4)      Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.[7]
Menurut ulama mutaqaddim, nasikh adalah mengangkat hukum syar’I dengan dalil hukum syara’ yang lain. Misalnya, dikeluarkannya hukum syar’I dengan berdasarkan kitab syara’ dari seorang karena ia mati. Pengertian menurut ulama muta’akhirin diantaranya ialah sebagaimana yang diungkapkan oleh quraish shihab nasikh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut, atau menyatakan berakhirnya pemberlakuan hukum terdahulu, hingga ketentuan hukum yang ada yang ditetapkan terakhir.[8]
2. Pengertian Mansukh
Mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus, dipindahkan, ataupun disalin, dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama, mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti yang baru, karena adanya situasi dan kondisi  yang menghendaki perubahan dan pengganti hukum tadi.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa nasikh dan mansukh menurut ulama mutaqaddim memberikan batasan pengertian bahwa nasikh adalah sebagai dalil syar’I yang ditetapkan kemudian. Artinya ketentuan hukum yang telah berlaku sebelumnya dinyatakan telah berakhir masa berlakunya, dan diganti dengan ketentuan hukum yang lain.[9]
Dari beberapa defenisi yang telah disebutkan diatas dapat dipahami, bahwa nasakh adalah penghapusan hukum yang terdahulu oleh hukum yang datang kemudian. Dengan kata lain hukum yang datang belakangan telah menghapuskan hukum yang datang dahulu, sehingga hukum yang datang kemudian diamalkan.
C. Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Nasakh
Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasakh dan mansukh, perlu diketahui rukun-rukun dan syarat-syarat nasakh. Rukun-rukun nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.      Adanya mansukh, (ayat-ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat Amali, tidak terikat atau tidak  dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu tidak dapat dinamakan dengan nasakh. Disamping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak bersifat “ajeg” secara nashshi, dan ayat-ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat yang nasikh (menghapus).
2.      Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat, datangnya dari syar’i (Allah) atau Rasulullah s.a.w sendiri yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan suatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma (konsensus) ataupun qiyas (analogi).
3.      Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang ketentuan hukum yang dihapus itu berupa Al-Qur’an dan kadang-kadang pula berupa sunnah.
4.      Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah Aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus dan atau yang dihapus itu adalah tertuju kepada mereka.[10]
Sedang Abd. Azhim al Zarqani mengemukakan,bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :[11]
1.      Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
2.      Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan daripada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
3.      Harus diketahui secara menyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.
D. Pembagian Nasakh
Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat macam :[12]
a.       Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.
b.      Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah
c.       Nasakh Qur;an dengan hadits ahad
Jumhur ulama berpendapat, Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang maklum (jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga).
d.      Nasakh Qur’an dengan hadits mutawatir.
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
3. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
e.   Nasakh sunnah dengan Al-Qur’an
ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan didalam Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Tetapi naskh versi inipun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
e.       Nasakh sunnah dengan sunnah
Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
1). Nasakh mutawatir dengan mutawatir,
2). Nasakh ahad dengan ahad
3). Nasakh ahad dengan mutawatir
4). Nask mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk ke empat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Adapun menasakh ijma dengan ijma dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkannya.
3.      Peranan Nasikh Mansukh dalam memahami/menafsirkan Al-Qur’an
Setelah kita mengetahui pengertian dari nasikh mansukh, maka dapat kita ketahui bahwasanya nasikh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas, maupun yang diungakapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan aqidah, berfokus kepada zat Allah SWT, sifat-sifatnya, rasulnya, kitab-kitabnya, dan hari kemudian. Hal ini karena semua syariat ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.
Kemudian syarat-syarat terjadinya nasakh adalah sebagai berikut:
a.       Yang dinasakh itu hukum syar’i
b.      Pembatalan itu dari khithab (tuntunan) syara’
c.       Pembatalan hukum itu tidak disebabkan berakhirnya waktu berlakunya hukum tersebut sebagaimana yang ditnjukkan khitab itu sendiri,[13]
Seperti firman Allah:
Artinya: kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam(al-  Baqarah: 187)
Berakhirnya puasa dengan datangnya malam tidak dinamakan nasakh karena ayat itu sendiri telah menentukan bahwa puasa tersebut berakhir ketika malam tiba.
d.      Dalil antara keduanya bertentangan .[14]sehingga tidak mungkin untuk diambil upaya Jama’ (kompromi). Kalau teryata kaduanya masih mungkin mengalami proses jama’, maka salah satu diantaranya tidak bisa manasakh yang lainnya.
Dari penjelasan diatas jelas sekali para ulama sangat hati-hati di dalam memberikan defenisi, syarat-syarat, dan ruang lingkup dari pada nasikh dan mansukh itu sendiri. Karena mereka khawatir akan terjadi banyaknya ayat-ayat yang akan kena masukh nantinya. Sehingga mereka lebih memfokuskan kepada ayat-ayat yang bersifat hukum.
E. Hikmah Nasikh Mansukh dalam Kehidupan dan Pergaulan
Memahami nasikh dan mansukh penting dalam upaya memahami hukum secara sempurna dan benar, sehingga secara bijaksana dapat memutuskan hukum yang adil. Ada empat hikmahnya :
1.      Menjaga kemaslahatan hamba
2.      Mengembangkan pensyariatan hukum sampai pada  tingkat kesempurnaan, seiring dengan pengembangan dakwah kondisi manusia itu sendiri
3.      Meguji kualitas keiginan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus
4.      Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan mansukh berarti
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
1.      Secara etimologi nasakh mempunyai beberapa pengertian yaitu antara lain: penghilangan (izalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sedangkan mansukh adalah sesuatu yang dihilangkan, digantikan, diubah, dan dipindahkan.
2.      Perbedaan pendapat tentang nasikh dan mansukh dikalangan ulama bersumber dari eksistensi nasakh dan mansukh itu sendiri didalam al-Qur’an. Menurut mayoritas ulama mengakui keberadaan nasikh dalam al-qur’an. Sementara ulama yang lain seperti Abu Muslim al-Ashafani, Ar-Razi, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufik Sidqy, dan Al- Huduri menolak keberadaan tersebut
3.      Hikmah nasikh mansukh dalam kehidupan: Menjaga kemaslahatan hamba. Mengembangkan persyariatan hukum sampai pada tingkat kesempurnaan, seiring dengan pengembangan dakwah kondisi manusia itu sendiri. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan keadaan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus. Merupakan kabaikan dan kemudahan bagi umat. Apabila ketentuan nasikh lebih berat dari pada ketentuan mansukh berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.


[1]M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka,1994), h.143
[2]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Jakarta: PT. Syamil Cipta Media, 2004),  h. 819
[3]  Armen Mukhtar, Nasakh Perkembangan Ilmu Tafsir Al-qur’an, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h.35
[4] Hasan Zaini, Ulum Al-Qur;an, ( Batusangkar: STAIN Batusangkar Press, 2011) , h, 124
[5]Muhammad Chirzin. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT. Dana Bhaku Prima Yasa, 1998), hal. 40
[6] Hasan Zaini, Op.Cit, h, 129
[7]Loc. Cit
[8] Hasan Zaini, h. 127
[9] Ibid
[10]Usman. Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2009), hal.262
[11] Muhammad Abd. Azhim al Zarqani. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, ( Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmi’ah), hal.77
[12]Muhammad Abd. Azhim al-Zarqani. Manahil al-Irfan…, hal. 177. Lihat juga Usman. OpCit, hal. 263
[13] Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, h,188
[14]Hasan Zaini, Op.Cit, h, 142

Komentar

  1. assalamu'alaikum,,,,
    coba saudari beri contoh ayat yang NASIKH dan MANSUKH????,,,,,

    mksh,,,,

    BalasHapus
  2. assalamu'alaikum,,
    apa latarbelakangnya NASIKH dan MANSUKH ini?????...

    mksh,,,

    BalasHapus
  3. assalamu'alaikum..

    Al-Izalah yang artinya “menghilangkan
    apa maksud dari kalimat menghilangkan yang di atas???

    BalasHapus
  4. assalamu alaikum
    apa perbedaan dan persamaan antara nasikh dan mansukh
    sekian

    BalasHapus
  5. Assalamu alaikum wr. Wb
    Saya ingin bertanya yang pertanyaan saya ialah coba saudari jelaskan bagaimana Sebab penghapusan suatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma (konsensus) ataupun qiyas (analogi).
    Sekian terimakasih

    BalasHapus
  6. Assalamu alaikum wr. Wb
    Saya ingin bertanya yang pertanyaan saya ialah coba saudari jelaskan bagaimana Sebab penghapusan suatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma (konsensus) ataupun qiyas (analogi).
    Sekian terimakasih

    BalasHapus
  7. assalamu alaikum saya igin bertanyak coba saudari jelaskan pembagian nasakh itu degan jelas sekian wasalam

    BalasHapus
  8. asalamu alaikum coba saudari jelaskan bagaimana itu menjaga kemaslahatan hamba itu sekiya wasalam
    by:maisaroh nasution

    BalasHapus
  9. Coba saudari jelaskan hiknah nasikh mansukh

    BalasHapus
  10. Assalamualaikum Wr.Wb
    Mansukh artinya menghilangkan, memindahkan
    Jadi, bagaimana maksud yang di maksud dengan menghilangkan atau memindahkan tersebut?
    Jelaskan!
    Sekian terima kasih
    Wassalam...

    BalasHapus
  11. Assalamualaikum Wr.Wb
    Mansukh artinya menghilangkan, memindahkan
    Jadi, bagaimana maksud yang di maksud dengan menghilangkan atau memindahkan tersebut?
    Jelaskan!
    Sekian terima kasih
    Wassalam...

    BalasHapus
  12. Assalamualaikum ukty Coba saudari jelaskan latar belakang dari nasikh dan mansukh itu terimakasih

    BalasHapus
  13. Coba saudari jelaskan peranan nasikh dan mansukh dalam memahami dan menafsirkan al quran

    BalasHapus
  14. Berikan contoh dari judul saudari
    Terimakasih

    BalasHapus
  15. Ass...
    Coba saudari jelaskan apa perbedaan nasikh dan mansukh..
    Terimakasih...

    BalasHapus
  16. Nasikh kan yg di hapus atau diganti,nah pertanyaan saya ialah yg dihapus atau diganti itu lapadz nya atau hukumnya.
    Mohon saudari jelaskan

    BalasHapus
  17. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
    Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh. Misalnya, ayat tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari.jelaskan maksud ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari ?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

teknologi informasi dalam manajemen sdm

TEKNOLOGI INFORMASI DALAM MANAJEMEN SDM D I S U S U N Oleh Kelompok:   NAMA                                                                         NIM                 DERAMA LUBIS                                                      1630200037      ...

jam'ul qur'an pada masa khulafaur rasyidin

                  AL-QUR’AN DI MASA ABU BAKAR DAN ‘UMAR           1.Gerakan Mengumpulkan Shuhuf-shuhuf di Masa Abu Bakar Ash Shiddiq          Telah terang kita ketahui bahwa Al-Qur;an itu diturunkan berangsur-angsur. Setiap turun, Nabi SAW .menyuruh penulis wahyu menulisnya. Kebanyakan sahabat menghafalnya. Akan tetapi walaupu ditulis oleh para penulis wahyu, namun dia tidak terkumpul dalam suatu mushhaf(suatu buku).          Para sahabat dimasa Nabi SAW. Masih hidup pada menulis kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah korma dan pada batu-batu. Mereka menulis Al-Qur’an pada benda-benda tersebut karena kertas pada masa itu belum ada.           Setelah Rasulullah SAW. Wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah, Musailamah Al Kadzazab mengaku di...